Suatu ketika Rasulullah dan para sahabat bersama di sebuah majelis, dan beliau berkata kepada Abu Bakr radhiallahu anha , “Wahai Abu Bakr, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudaraku.”
Mendengar baginda
Rasulullah berkata demikian, terkejutlah para sahabat yang ada di
sekitar beliau. Abu Bakr yang selalu setia menemani dan membersamai
Rasulullah di dalam perjuangan dakwahnya pun bertanya, “Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu? Lebih-lebih mengejutkan lagi jawaban yang kemudian keluar dari lisan manusia paling mulia itu.
“Tidak wahai Abu Bakr, Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku.” Terasa betapa lembutnya suara Rasulullah. “Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” tegas salah seorang sahabat lain yang masih terlampau penasaran siapa yang dimaksud saudara oleh sang pembawa risalah.
Tetiba suasana hening, semua perhatian tertuju pada Rasulullah. Tak lama setelahnya, beliau memberikan penjelasan, “Saudara-saudaraku
adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman
denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka.
Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku.
Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung
juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah
melihatku.”
Letak kesitimewan
umat akhir zaman salah satu yang utama ialah tetap meyakini sesuatu
yang bahkan tidak pernah dilihatnya. Sebagaimana meyakini hembusan
angin, meski tidak pernah tahu bagaimana bentuknya.
Sebagaimana meyakini
perasaan yang tumbuh, walau selalu tidak berhasil menggambarknnya lewat
kata-kata sekali pun. Begitulah keistimewaan kita, umat terbaik yang
begitu sangat dicintai oleh baginda Nabiullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lihatlah betapa
Rasulullah teramat peduli pada kita, umat yang sangat berkemungkinan
untuk ingkar kepadanya. Tidak mengindahkan nasihat-nasihatnya lewat
perintah Sunnah.
Mari introspeksi, sudah sejauh mana selama hidup ini
kita berupaya untuk menegakkan Sunnah dan mencintai Rasulullah? Sudah
seberapa dekat kita dengan kehidupan yang diajarkan oleh Rasulullah?
Betapa teramat
mulianya hati Rasulullah, jika mampu ia tanggungkan dosa seluruh umat
ini, pastilah ditanggungnya. Jika mampu ia menangguhkan sakitnya
sakaratul maut seluruh umatnya, pasti akan ia tangguhkan semuanya.
Betapa berkorbannya Rasulullah, betapa pedulinya beliau pada kehidupan
kita, masa depan dunia hingga akhirat kita?
Hingga di
penghujung hayatnya, bukanlah istri tercintanya yang diingatnya, bukan
para sahabat yang sudah menemai perjuangan dakwahnya yang ia dahulukan,
bukan anak terkasihnya yang ia pintakan pengampunan.
“Ummati, ummati, ummati.”
Beliau justeru menutup hidupnya dengan masih terus peduli pada kita,
umat yang penuh maksiat dan ingkar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah
terus memikirkan kita, orang-orang yang belum tentu sekali waktu
bershalawat memujanya.
Tidak
tersentuhkan hati kita, adakah sesosok manusia yang sepeduli Rasulullah?
Meski setiap hari bertemu, dekat erat berhubungan, saat di hari
kebangkitan mereka akan sibuk pada diri masing-masing. Saat mendapat
kebahagiaan di dunia, mereka pun sudah sibuk menikmatinya sendiri.
Lantas kepada siapa lagi kita berharap pertolongan jika bukan pada Allah
dan Rasul-Nya?
Kurang apalagi
kita sebagai umat, memiliki Rasul yang teramat baiknya hati, mulianya
perangai, indahnya akhlaq. Masih susah untuk ingat? Masih sulit untuk
mengubah kebiasaan buruk menjadi yang baik-baik, masih susah beramal
shaleh?
Perlu dengan cara apalagi Rasulullah peduli pada kita, makhluk
lemah yang berlumur dosa-dosa? Haruskah saat ruh sudah dikerongkongan
baru kita sadar jika bekal masih kurang dan dosa tak terhitung?