Maka, ketika kemudian sikap Gus Javar berubah, masyarakat pun geger;
terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi
tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa
dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Javar menghilang berminggu-minggu,
kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia
biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda.
Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas
kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,”
komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. “Wah, sayang sekali! Apa
gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik
Salamun. “Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan
mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian
berubah.”
“Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling
tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Javar tanpa merasa
deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus
mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan
gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya
kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum’at sehabis
wiridan salat Isya, saat mana Gus Javar prei, tidak mengajar; rombongan
santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota
rombongan merasakan keakraban Gus Javar, jauh melebihi yang
sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan,
was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: “Gus, di samping
silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar
belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Javar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap
yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas
Mas Guru Slamet, “kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi
membaca, bahkan diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Javar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia
tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah
menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, “Ceritanya panjang.” Dia
berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian ingat, saya lama menghilang?” akhirnya Gus Javar bertanya,
membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka
serempak kami mengangguk. “Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan
saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa
kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah
selatan.
Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya
kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100
tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah
disebut kiai di daerah masing-masing.”
“Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan
saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu.
Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke
tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan
menimba ilmu beliau.
Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang
yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru
setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi
petunjuk.”
‘Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu’ katanya. ‘Nanti
nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas
menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk
kecil dari bambu.
Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan
nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah
tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini
memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa
tadi?’
‘Kiai Tawakkal.’
‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.’
“Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya
menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi
santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh
keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka.
Dan
kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak
mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya
berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas
dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau
bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Javar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian
melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan
tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang
jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup
besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’.
Astaghfirullah! Belum pernah selama
ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak
mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang
dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain,
disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan
diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus
melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu
semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara
lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi
keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa
hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali
hal-hal mencurigakan.
Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda
dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan
salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam;
menemui tamu; dan semacamnya.
Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk
memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi
pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam
tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan
kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam
lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’, saya
mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai
Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban
atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan
berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin
beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan
hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi
juga tidak terlalu jauh.
Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai
terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau
gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin
sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba
Kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika
kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan
lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung.
Terdengar gelak tawa ramai sekali.
Dengan bengong saya mendekati warung
terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu
masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang
menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari.
Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa
saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan
kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing
di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya.
Memang
betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam
warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk
dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh
dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum
penuh arti.
Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser,
‘Kasi kawan saya ini tempat sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada
di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru
datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya’. Mereka
yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya
dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan”.
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam
mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, ‘Minum kopi ya?!’
Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, Yu!’ kata Kiai kepada
wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silakan! Ini
namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya
hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan ‘kawan-kawan’-nya dan
membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana
mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai
lain bisa berada di sini.
Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda
dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini
merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya?
Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam
ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan
pandangan saya terhadap beliau berubah.”
‘Mas, sudah larut malam,’tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan
lamunan saya. ‘Kita pulang, yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai
membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua,
kemudian keluar.
Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya.
Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri
jalan-jalan yang tadi kami lalui. ‘Biar cepat, kita mengambil jalan
pintas saja!’ katanya.”
“Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di
sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang
menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai,
seolah-olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau menoleh
ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’
teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang
menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Sampai di seberang, ternyata Kiai
Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita
istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian.
‘Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai
pondok.’
Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara
berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa
yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang
kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut?
Apakah kau
yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu
sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan
pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata
apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat
tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah
mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka.
Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari
pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka
dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia
memasukkan diriku ke sorga atau neraka.
Untuk memasukkan hamba-Nya ke
sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai
kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga
kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi
kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka?
Kita berbuat baik
karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat
de
ngan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita.
Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara
sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus lebih berhati-hati bila
mendapat cobaan Allah berupa anugerah.
Cobaan yang berupa anugerah tidak
kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka
yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit
kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang
cenderung membesarkan diri sendiri.
Berbeda dengan mereka yang mempunyai
kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu
datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh
banyak pihak’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.
‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh.
Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa
diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa
ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak
tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh
berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu.
Seperti orang
linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan
berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai
Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada.
Tak seorang pun dari
mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah
sembahyang, seseorang menghampiri saya. ‘Apakah sampeyan Jakfar?’
tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini
titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’
‘Beliau di mana?’ tanya saya buru-buru.
‘Mana saya tahu?’ jawabnya. ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak
ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau
pergi.’
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Javar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk
mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Javar kembali menawarkan
suguhannya.
Rembang, Mei 2002
A. MUSTOFA BISRI,Gus Mus adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa
Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah
pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair,
pelukis, cerpenis dan kolumnis.
“Gus Javar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004.